Kamis, 02 Juli 2015

(TAHAPAN PENGADOPSIAN IFRS DI INDONESIA ) TUGAS 4



 (TAHAPAN PENGADOPSIAN IFRS DI INDONESIA )


Akuntan Indonesia (IAI) sebagai wadah profesi akuntansi di Indonesia selalu tanggap terhadap perkembangan yang terjadi, khususnya dalam hal-hal yang mempengaruhi dunia usaha dan profesi akuntan. Hal ini dapat dilihat dari dinamika kegiatan perkembangan standar akuntansi sejak berdirinya IAI pada tahun 1957 hingga kini. Setidaknya, terdapat tiga tonggak sejarah dalam perkembangan standar akuntansi keuangan di Indonesia.

Tonggak sejarah pertama, menjelang diaktifkannya pasar modal di Indonesia pada tahun 1973. Pada masa itu merupakan pertama kalinya IAI melakukan kodifikasi prinsip dan standar akuntansi yang berlaku di Indonesia dalam suatu buku "prinsip Akuntansi Indonesia (PAI)."
            Kemudian tonggak sejarah kedua terjadi pada tahun 1984. Pada masa itu, komite PAI melakukan revisi secara mendasar PAI 1973 dan kemudian mengkondifikasikan dalam buku "Prinsip Akuntansi Indonesia 1984" dengan tujuan untuk menyesuaikan ketentuan akuntansi dengan perkembangan dunia usaha.
            Berikutnya pada tahun 1994, IAI kembali melakukan revisi total terhadap PAI 1984 dan melakukan modifikasi dalam suatu buku "Standar Akuntansi Keuangan (SAK) per 1 Oktober 1984." Sejak tahun 1984, IAI juga telah memutuskan untuk melakukan standar akuntansi internasional dalam pengembangan standarnya. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi perubahan dari harmonisasi ke adaptasi, kemudian menjadi adopsi dalam rangka mencapai konvergensi dengan Internasional Financial Reporting Standards (IFRS). Program adopsi penuh dalam rangka mencapai konvergensi dengan IFRS direncanakan dapat terlaksana dalam beberapa tahun ke depan.
Dalam perkembangannya, standar akuntansi keuangan terus direvisi secara berkesinambungan, baik berupa penyempurnaan maupun penambahan standar baru sejak tahun 1994. Proses revisi telah dilakukan enam kali, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1995, 1 Juni 1996, 1 Juni 1999, 1 April 2002, 1 Oktober 2004, dan 1 September 2007. Buku "Standar Akuntansi Keuangan per 1 September 2007" ini di dalamnya sudah bertambah dibandingkan revisi sebelumnya yaitu tambahan KDPPLK Syariah, 6 PSAK baru, dan 7 ISAK. Untuk dapat menghasilkan standar akuntansi keuangan yang baik, maka badan penyusunan terus dikembangkan dan disempurnakan sesuai kebutuhan. Awalnya, cikal bakal badan penyusun standar akuntansi adalah panitia Penghimpunan Bahan-Bahan dan Struktur dari GAAP dan GAAS yang dibentuk pada tahun 1973. Pada tahun 1974 dibentuk Komite Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI) yang bertugas menyusun dan mengembangkan standar akuntansi keuangan. Komite PAI telah bertugas selama empat periode kepengurusan IAI sejak tahun 1974 hingga 1994 dengan susunan personel yang terus diperbaharui. Selanjutnya pada periode kepengurusan IAI tahun 1994-1998 nama Komite PAI diubah menjadi Komite Standar Akuntansi Keuangan (Komite SAK).
Kemudian, pada Kongres VIII IAI tanggal 23-24 September 1998 di Jakarta, Komite SAK diubah kembali menjadi Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) dengan diberikan otonomi untuk menyusun dan mengesahkan PSAK dan ISAK. Selain itu, juga telah dibentuk Komite Akuntansi Syariah (KAS) dan Dewan Konsultatif Standar Akuntansi Keuangan (DKSAK). Komite Asuransi Syariah (KAS) dibentuk tanggal 18 Oktober 2005 untuk menopang kelancaran kegiatan penyusunan PSAK yang terkait dengan perlakuan akuntansi transaksi syariah yang dilakukan oleh DSAK. Sedangkan DKSAK yang anggotanya terdiri atas profesi akuntan dan luar profesi akuntan, yang mewakili para pengguna, merupakan mitra DSAK dalam merumuskan arah dan pengembangan SAK di Indonesia.
            Tujuan akhir dari konvergensi IFRS adalah PSAK sama dengan IFRS tanpa adanya modifikasi sedikitpun. Di sisi lain, tanpa perlu mendefinisikan konvergensi IFRS itu sendiri, berdasarkan pengalaman konvergensi beberapa IFRS yang sudah dilakukan di Indonesia tidak dilakukan secara full adoption.
        Sistem pengurusan perusahaan di Indonesia yang memiliki dewan direksi dan dewan komisaris (dual board system) berpengaruh terhadap penentuan kapan peristiwa setelah tanggal neraca, sebagai contoh lain dari perbedaan antara PSAK dengan IFRS. Indonesia melalui Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK), Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sedang melakukan proses konvergensi IFRS dengan target penyelesaian tahun 2012. IFRS menekankan pada principle base dibandingkan rule base.
Harmonisasi standar akuntansi dan pelaporan keuangan telah dianggap sebagai suatu hal yang mendesak yang harus dilakukan setiap negara termasuk Indonesia sebagai salah satu negara berkembang. Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) sebagai pemegang kekuasaan tertinggi untuk melakukan adopsi penuh atas IFRS. Manfaat IFRS sendiri antara lain memudahkan pemahaman atas laporan keuangan dengan penggunaan SAK yang dikenal secara internasional, meningkatkan arus investasi global melalui transparasi, menurunkan biaya modal dengan membuka peluang fund raising melalui pasar modal secara global dan menciptakan efesiensi penyusunan laporan keuangan. Namun dalam proses adopsi penuh IFRS yang akan dilakukan tdiak tanpa masalah. Dalam proses penuh adopsi IFRS akan sulit dilakukan karena masih banyak regulasi yang tidak mendukung, entitas entitas bisnis yang masih belum memiliki kesiapan selain itu perhatian dan komitmen yang  kuat dari pada pelaku bisnis, pemerintah Indonesia, dan otoritas pasar modal sangat minim, terbukti dengan dimundurkannya jadwal implementasi IFRS awalnya tahun 2010 sekarang menjadi tahun 2012. Di Indonesia, IAI menetapkan proses adopsi IFRS dalam 3 tahap yaitu, tahap adopsi, tahap persiapan akhir dan tahap implementasi.  

                    Roadmap konvergensi IFRS di Indonesia
Tahap Adopsi
(2008-2010)
Tahap Persiapan Akhir (2011)
Tahap Implementasi (2012)
Adopsi seluruh IFRS ke PSAK
Penyelesaian persiapan infrastruktur yang diperlukan
Penerapan PSAK berbasis IFRS secara bertahap
Persiapan Infrastruktur yang dibutuhkan
Penerapan secara bertahap beberapa PSAK berbasis IFRS
Evaluasi dampak penerapan PSAK secara komprehensif.
Evaluasi dan kelola dampak adopsi terhadap PSAK yang berlaku


















IAI dalam program kerjanya telah menetapkan peta arah (roadmap) program konvergensi IFRS terhadap PSAK yang dilakukan melalui tiga tahapan. Pertama tahap adopsi (2008 – 2011) yang meliputi Adopsi seluruh IFRS ke PSAK, persiapan infrastruktur yang diperlukan, evaluasi dan kelola dampak adopsi terhadap PSAK yang berlaku. Kedua tahap persiapan akhir (2011) yaitu penyelesaian infrastruktur yang diperlukan. Ketiga yaitu tahap implementasi (2012) yaitu penerapan pertama kali PSAK yang sudah mengadopsi seluruh IFRS dan evaluasi dampak penerapan PSAK secara komprehensif. Melalui roadmap yang telah ditetapkan oleh IAI, diharapkan agar para entitas, pemerintah Indonesia dan setiap pelaku bisnis mampu mempersiapkannya dengan baik selain DSAK (Dewan Standar Akuntansi Keuangan) pun melakukan tanggung jawabnya. Ketua IASB sebelum masa jabatannya habis, mengemukakan ambisinya untuk menyelesaikan 10 program kerja pada tahun 2010. Indonesia telah mengadopsi IFRS secara penuh pada 2012, strategi adopsi yang dilakukan untuk konvergensi ada dua macam, yaitu big bang strategy dan gradual strategy. Big bang strategy mengadopsi penuh IFRS sekaligus, tanpa melalui tahapan-tahapan tertentu. Strategi ini digunakan oleh negara-negara maju. Sedangkan pada gradual strategy, adopsi IFRS dilakukan secara bertahap. Strategi ini digunakan oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia. Sasaran konvergensi IFRS tahun 2012, yaitu merevisi PSAK agar secara material sesuai dengan IFRS versi 1 Januari 2009 yang berlaku efektif tahun 2011/2012, Konvergensi IFRS di Indonesia dilakukan secara bertahap. Adapun manfaat yang diperoleh dari konvergensi IFRS adalah memudahkan pemahaman atas laporan keuangan dengan penggunaan SAK yang dikenal secara internasional, meningkatkan arus investasi global melalui transparasi, menurunkan biaya modal dengan membuka peluang fund raising melalui pasar modal secara global, menciptakan efesiensi penyusunan laporan keuangan.

Tujuh manfaat dan penerapan IFRS:
1. Meningkatkan kualitas standar akuntansi keuangan (SAK),
2. Mengurangi biaya SAK,
3. Meningkatkan kredibilitas & kegunaan laporan keuangan,
4. Menungkatkan komparabilitas pelaporan keuangan,
5. Meningkatkan transparasi keuangan,
6. Menurunkan biaya modal dengan membuka peluang penghimpunan dana melalui pasar modal,
7. Meningkatkan efisiensi penyusunan laporan keuangan.

Tiga perbedaan mendasar antara PSAK dengan IFRS yaitu:
1. PSAK yang semula berdasarkan Historical Cost mengubah paradigmanya menjadi Fair Value Based.
   Terdapat kewajiban dalam pencatatan pembukuan mengenai penilaian kembali keakuratan berdasarkan nilai kini atas suatu aset, liabilitas dan ekuitas. Fair Value based mendominasi perubahan-perubahan di PSAK untuk konvergensi ke IFRS selain hal-hal lainnya. Sebagai contoh perlunya dilakukan penilaian kembali suatu aset, apakah terdapat penurunan nilai atas suatu aset pada suatu tanggal pelaporan. Hal ini untuk memberikan keakuratan atas suatu laporan keuangan.

2. PSAK yang semula lebih berdasarkan Rule Based (sebagaimana US GAAP) berubah menjadi Prinsiple Based.
  Rule based adalah dimana segala sesuatu menjadi jelas diatur batasan-batasannya. Sebagai contoh adalah dimana sesuatu materiality ditentukan misalnya diatas 75% dianggap material dan ketentuan-ketentuan jelas lainnya. IFRS menganut prinsip prinsiple based dimana yang diatur dalam PSAK update untuk mengadopsi IFRS adalah prinsip-prinsip yang dapat dijadikan bahan pertimbangan Akuntan/Management perusahaan sebagai dasar acuan untuk kebijakan akuntansi perusahaan.
Konvergensi ke IFRS dapat diartikan membuat standar akuntansi suatu negara menjadi serupa atau sama dengan IFRS. Konvergensi ke IFRS dapat mencakup dua pengertian, yaitu mengharmonisasikan atau mengadopsi penuh. Menurut Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK), tingkat pengadopsian IFRS dapat dibedakan menjadi 5 tingkat :
a.   Full adoption : Suatu negara mengadopsi seluruh produk IFRS dan menerjemahkan IFRS word by word ke dalam bahasa yang negara tersebut digunakan.
b. Adopted : Mengadopsi seluruh IFRS namun disesuaikan dengan kondisi di negara tersebut.
c. Plecemeal : Suatu negara hanya mengadopsi sebagian besar nomor IFRS yaitu nomor standar tertentu dan memilih paragraf tertentu saja.
d. Referenced : Sebagai referensi, standar yang diterapkan hanya mengacu pada IFRS tertentu dengan bahasa dan paragraf yang disusun sendiri oleh badan pembuat standar
e. Not adopted at all : Suatu negara sama sekali tidak mengadopsi IFRS

Strategi konvergensi IFRS dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, secara sekaligus (big bang) atau dilakukan secara bertahap. Adopsi secara  gradual lebih banyak digunakan oleh negara berkembang salah satunya Indonesia karena adopsi IFRS memerlukan infrastruktur pendukung seperti kesiapan penyusunan laporan keuangan, auditor, pendidik, profesi pendukung regulator. Konvergensi di Indonesia yang menggunakan cara gradual otomatis lebih lambat daripada cara big bang karena persiapan yang dibutuhkan cukup lama, tentunya akan dibutuhkan waktu yang lama. Seiring dengan diberlakukannya beberapa PSAK yang telah direvisi secara bertahap oleh DSAK-IAI, diharapkan para entitas mampu mengikuti laju perkembangan PSAK.
Dengan konvergensi IFRS tersebut, semua entitas bisnis di Indonesia, terkecuali entitas yang dikategorikan sebagai Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (ETEP), wajib menerapkan PSAK yang sudah mengadopsi IFRS. Untuk itu, manajemen tiap-tiap entitas bisnis harus sudah melakukan antisipasi dengan melakukan evaluasi dan transisi sistem akuntansi dan pelaporan keuangannya agar mengacu pada prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh IFRS.
IFRS memiliki tiga ciri utama yaitu principles based, lebih banyak menggunakan nilai wajar sebagai dasar penilaian dan pengungkapan yang lebih banyak. Standar yang bersifat principles based hanya mengatur hal-hal prinsip bukan aturan detail. Konsekuensinya diperlukan professional judgment dalam menerapkan standar. Untuk dapat memiliki professional judgment seorang akuntan harus memiliki pengetahuan, skill dan etika karena jika tidak memiliki ketiga hal tersebut maka professional judgment yang diambil tidak tepat. Dalam standar yang lama sebenarnya telah menggunakan dasar nilai wajar, namun nilai wajar diterapkan pada pencatatan awal dan penilaian sesudah pencatatan awal untuk beberapa aset yang memiliki nilai wajar yang dapat diandalkan (aset yang memiliki kuotasi pasar aktif seperti saham). Dalam IFRS penggunaan nilai wajar diperluas bahkan untuk aset biologi, aset tetap, properti investasi dan aset tidak berwujud sebagai pilihan metode selain metode biaya. IFRS mengharuskan pengungkapan yang lebih luas agar pemakai laporan keuangan mendapatkan informasi yang lebih banyak sehingga dapat mempertimbangkan informasi tersebut untuk pengambilan keputusan.
Untuk menerapkan PSAK diperlukan sumber daya manusia yang memahami standar baru tersebut, sehingga pendidikan dan pemutakhiran pengetahuan staf akuntansi harus dilakukan untuk menyongsong penerapan PSAK secara penuh 2012.

 SUMBER:



SEJARAH STANDAR AKUNTANSI INDONESIA (TUGAS 3)



SEJARAH STANDAR AKUNTANSI INDONESIA (TUGAS 3)


      Standar Akuntansi Keuangan yang berkualitas merupakan salah satu prasarana penting sebagai pedoman pokok untuk menyusun dan menyajikan laporan keuangan bagi perusahaan dan unit ekonomi lainnya. Jadi dengan adanya standar akuntansi yang baik, maka laporan keuangan dapat menjadi lebih berguna dan dapat menciptakan transparasi bagi perusahaan.

Sejarah akuntansi di Indonesia tentu tidak lepas dari perkembangan akuntansi di negara asal perkembangannya. Dengan kata lain, negara luarlah yang membawa akuntansi itu masuk ke Indonesia kendati pun tidak bisa disangkal bahwa di masyarakat

Indonesia sendiri pasti memiliki sistem pencatatan pelaporan tersendiri. Untuk memberikan gambaran bagaimana perkembangan Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia, maka dapat dilihat sebagai berikut :

1)      Jaman Belanda
Setelah VOC bubar pada 31 Desember 1799, kekuasaan diambil alih oleh Kerajaan Belanda, zaman penjajahan Belanda dimulai tahun 1800-1942. Pada waktu itu, catatan pembukuannya menekankan pada mekanisme debet dan kredit, yang antara lain dijumpai pada pembukuan Amphioen Socyteit di Batavia yang bergerak dalam usaha peredaran candu atau morfin (amphioen) yang merupakan usaha monopoli di Belanda. Banyak perusahaan Belanda yang didirikan di Indonesia pada abad ke-19. Catatan pembukuannya merupakan modifikasi sistem Venesia-Italia, dan tidak dijumpai adanya kerangka pemikiran konseptual untuk mengembangkan sistem pencatatan karena kondisinya sangat menekankan pada praktik-praktik dagang yang semata-mata untuk kepentingan perusahaan Belanda. Pada era ini Belanda mengenalkan sistem pembukuan berpasangan (double-entry bookkeeping) sebagaimana yang dikembangkan oleh Luca Pacioli. Sistem ini diperkenalkan oleh Luca Pacioli bersama Leonardo da Vinci, dan sudah dipakai untuk melakukan pencatatan upah sejak zaman Babilonia. Sistem Kontinetal merupakan pencatatan semua transaksi ke dalam dua bagian, yaitu debit dan kredit secara seimbang dan menghasilkan pembukuan yang sistematis serta laporan keuangan yang terpadu. Dengan menggunakan sistem ini perusahaan mendapatkan gambaran tentang laba rugi usaha, kekayaan perusahaan, serta hak pemilik. Persamaan akuntansi double entry boookeeping adalah “Harta = Utang + Modal”
Pada tahun 1602, terjadi peleburan 14 maskapai yang beroperasi di Hindia Timur, yang selanjutnya di tahun 1619 membuka cabang di Batavia dan kota-kota lainnya di Indonesia. Perjalanan VOC ini berakhir pada tahun 1799 dan setelah VOC dibubarkan, kekuasaan diambil alih oleh Kerajaan Belanda. Sejak masa itulah mulai tumbuh perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia. Catatan pembukuan saat itu menekankan pada mekanisme debit dan kredit berdasarkan praktik dagang yang semata-mata untuk kepentingan perusahaan Belanda. Pada masa ini, sektor usaha kecil dan menengah umumnya dikuasai oieh masyarakat Cina, India, dan Arab yang praktik akuntansinya menggunakan atau dipengaruhi oieh sistem dari negara mereka masing-masing. Pada masa penjajahan Jepang tahun 1942 sampai 1945, sistem akuntansi tidak banyak mengalami perubahan, yaitu tetap menggunakan pola Belanda.

2)      Pada tahun 1945-1955
Pada tahun 1947 hanya ada satu orang akuntan yang berbangsa Indonesia yaitu Prof. Dr. Abutari (Soermarso 1995). Praktik akuntansi model Belanda masih digunakan selama era setelah kemerdekaan (1950an). Pendidikan dan pelatihan akuntansi masih didominasi oleh sistem akuntansi model Belanda. Nasionalisasi atas perusahaan yang dimiliki Belanda dan pindahnya orang orang Belanda dari Indonesia pada tahun 1958 menyebabkan kelangkaan akuntan dan tenaga ahli (Diga dan Yunus 1997). Atas dasar nasionalisasi dan kelangkaan akuntan, Indonesia pada akhirnya berpaling ke praktik akuntansi model Amerika. Namun demikian, pada era ini praktik akuntansi model Amerika mampu berbaur dengan akuntansi model Belanda, terutama yang terjadi di lembaga pemerintah. Makin meningkatnya jumlah institusi pendidikan tinggi yang menawarkan pendidikan akuntansi-seperti pembukaan jurusan akuntansi di Universitas Indonesia 1952, Institute Ilmu Keuangan (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara-STAN) 1990, Univesitas Padjajaran 1961, Universitas Sumatera Utara 1962, Universitas Airlangga 1962 dan Universitas Gadjah Mada 1964 (Soermarso 1995)-telah mendorong pergantian praktik akuntansi model Belanda dengan model Amerika pada tahun 1960 (ADB 2003). Salah seorang dosen akuntansi senior Indonesia Dr. S. Hadibroto telah menulis disertasi tentang dua sistem ini dengan judul yang sudah diterjemahkan : Studi Perbandingan antara Akuntansi Amerika dan Belanda dan Pengaruhnya terhadap Profesi di Indonesia. Pada kesimpulan disertasinya beliau menyarankan agar Indonesia lebih baikmemilih sistem akuntansi Amerika dibandingkan dengan sistem akuntansi Belanda.

3)      Pada tahun 1974,
Dimana menjelang diaktifkannya pasar modal di Indonesia, merupakan pertama kalinya IAI melakukan kodifikasi prinsip dan standar akuntansi yang berlaku di Indonesia dalam suatu buku ”Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI)”. pada tahun 1973, dengan maksud antara lain:
a. Menghimpun prinsip-prinsip yang lazim berlaku di Indonesia
b. Sebagai prasarana pasar uang dan modal pada saat itu.
c. Laporan Keungan perusahaan yang go publik harus disusun berdasar Prinsip Akuntansi Indonesia.
Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk menghimpun Prinsip Akuntansi Indonesia 1973 antara lain:
a. Buku Prinsip-prinsip Accounting yang diterbitkan oleh Direktorat Akuntan Negara, Direktorat Jendral Pengawasan Keuangan Negara (DJPKN), Departemen Keuangan RI sekarang bernama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
b. Inventory of Generally Accepted Accounting Principles for Bussiness Enterprice, oleh Paul Grady, diterbitkan oleh AICPA
c. Opinions of Australian Accounting Principles, diterbitkan oleh Accounting and Auditing Research Committee dari Accounting Research Foundation.
d. Kumpulan dari Accounting Research Bulletins diterbitkan AICPA.
e. A Statement of Australian Accounting Principles, diterbitkan oleh NIVRA.
f. Wet op de Jaarekening van Ondernemingen, diterbitkan oleh NIVRA.
pada tahun 1974 dibentuk Komite Prinsip Akuntansi Indonesia yang bertugas menyusun dan mengembangkan Standar Akuntansi Keuangan. Komite PAI telah bertugas selama empat periode kepengurusan IAI sejak tahun 1974 hingga 1994 dengan susunan personil yang telah diperbaharui.

4)      Pada tahun 1984,
Tahun 1984. Pada masa itu, komite PAI melakukan revisi secara mendasar PAI 1973 dan kemudian mengkondifikasikannya dalam buku ”Prinsip Akuntansi Indonesia 1984” dengan tujuan untuk menyesuaikan ketentuan akuntansi dengan perkembangan dunia usaha. Hanya saja dalam PAI 1984 dibatasi pada hal-hal yang berhubungan dengan akuntansi keuangan yang diungkapkan secara garis besar atau bersifat umum tidak mencakup praktik akuntansi untuk industri tertentu. Pada Prinsip Akuntansi Indonesia 1984 masih memerlukan penjabaran lebih lanjut diatur dengan ”pernyataan” tersendiri. Sehubungan dengan itu, Komite PAI-IAI mulai tahun 1986 menerbitkan serangkaian pernyataan PAI dan interpretasi PAI untuk mengembangkan, menambah, mengubah serta menjelaskan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PAI 1984.

5)      Akhir tahun 1984
Selanjutnya,standar akuntansi di Indonesia pada akhir tahun 1984 mengikuti standar yang bersumber dari IASC (Internasional Accounting Standart Committe).

6)      Pada tahun 1994
Ada perubahan kiblat dari US GAAP ke IFRS , hal ini ditunjukkan sejak tahun 1994 telah terjadi kebijakan dari komite standar akuntansi keuangan untuk Tahun1994, telah menjadi kebijakan dari Komite Standar Akuntansi Keuangan untuk menggunakan International Accounting Standards sebagai dasar untuk membangun standar akuntansi keuangan Indonesia. Dan pada tahun 1995, IAI melakukan revisi besar untuk menerapkan standar-standar akuntansi baru, yang kebanyakan konsisten dengan IAS. Beberapa standar diadopsi dari US GAAP dan lainnya dibuat sendiri.setelah berlangsung selama 10 tahun IAI kembali melakukan revisi total terhadap PAI 1984 dan melakukan kodifikasi dalam buku ”Standar Akuntansi Keuangan (SAK) per 1 Oktober 1994.” IAI mengadopsi pernyataan International Accounting Standard Committee (IASC) sebagai dasar acuan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia, kemudian menerbitkan dua buah buku yaitu Standar Akuntansi Keuangan–Oktober 1994, Buku 1 dan Buku 2 yang berisi:
(1). Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan

      (2).Seperangkat Standar Akuntansi Keuangan, terdiri dari 35 Pernyataan yang setaraf dengan standar internasional.
Kerangka dasar dan seperangkat pernyataan tersebut merupakan landasan yang dianggap kokoh untuk pengembangan lebih lanjut. Berlaku untuk penyusunan Laporan Keuangan mencakup periode laporan yang dimulai atau setelah tanggal 1 Januari 1995. Standar Akuntansi Keuangan yang dikeluarkan IAI disebut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Sejak diterbitkannya buku Standar Akuntansi Keuangan tahun 1994, IAI terus melakukan revisi guna penyempurnaan standar yang sudah ada maupun penambahan standar baru dan interpretasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). IAI juga telah memutuskan untuk melakukan harmonisasi dengan Standar Akuntansi Internasional dalam pengembangan standarnya. Dalam perkembangannya, Standar Akuntansi Keuangan 13 terus direvisi secara berkesinambungan, baik berupa penyempurnaan maupun penambahan standar baru sejak tahun 1994. Proses revisi telah dilakukan delapan kali, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1995, 1 Juni 1996, 1 Juni 1999, 1 April 2002, 1 Oktober 2004, 1 September 2007, 1 juli 2009 dan 1 januari 2012.



7)      Tahun 2008
Sebagai tindak lanjut dari komitmen yang dibuat para Kepala Negara di London pada 2008, Dewan Standar Akuntansi Keuangan-Ikatan Akuntansi Indonesia (DSAK- IAI) telah memulai program konvergensi standar akuntansi keuangan Indonesia menuju Internasional Financial Reporting Standard (IFRS) yang dikeluarkan oleh Internasional Accounting Standar Board (IASB). Program Konvergensi tersebut telah berlangsung secara bertahap dan pada akhir 2012, seluruh pernyataan standar akuntansi keuangan Indonesia (PSAK) yang jumlahnya lebih dari 60 PSAK telah selesai dilakukan penyesuaian dengan mengadopsi IFRS. Saat ini IFRS telah diterapkan di lebih 100 negara di dunia yang meliputi seluruh negara dikawasan Eropa dan sejumlah besar negara di kawasan Asia Pasifik, seperti Australia, Malaysia, Singapura, Hongkong, Turki, dan sebagainya. Tren ini akan terus diikuti oleh negara-negara lain termasuk Amerika Serikat yang juga sedang menyiapkan konvergensi IFRS secara bertahap.
Pada bulan Desember 2008, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah mencanangkan konvergensi PSAK ke IFRS secara penuh pada tahun 2012. Sejak tahun 2009, Dewan Standar Akuntansi Keuangan - Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK-IAI) melaksanakan program kerja terkait dengan proses konvergensi tersebut sampai dengan tahun 2011.Ditargetkan bahwa pada tahun 2012, seluruh PSAK tidak memiliki beda material dengan IFRS yang berlaku per 1 Januari 2009. Setelah tahun 2012, PSAK akan di-update secara terus-menerus seiring adanya perubahan pada IFRS. Bukan hanya mengadopsi IFRS yang sudah terbit, DSAK-IAI juga bertekad untuk berperan aktif dalam pengembangan standar akuntansi dunia. Dengan dibuatnya satu standar akuntansi yang sama dan digunakan oleh seluruh negara akan semakin mendorong investor untuk masuk dalam pasar modal seluruh dunia, hal ini dikarenakan mutu dari laporan keuangan yang dihasilkan memiliki kredibilitas tinggi, pengungkapan yang lebih luas, informasi keuangan yang relevan dan akurat  serta dapat diperbandingkan dan satu lagi yang sangat penting adalah dapat berterima secara internasional dan mudah untuk dipahami.
Tahap adopsi kedua dilakukan pada periode 2008-2011 meliputi aktivitas adopsi seluruh IFRS ke PSAK, persiapan infrastruktur, evaluasi terhadap PSAK yang berlaku. Untuk perkembangan konvergensi IFRS selama tahun 2009-2010 adalah sebagai berikut :
         Jumlah PSAK yang telah disahkan dari Juni 2009‐Juni 2010 berjumlah 15 buah, semuanya berlaku 2011 kecuali PSAK 10 berlaku 2012 namun penerapan dini diijinkan
         Bila asumsi ED PSAK 3 dan ED ISAK 17 disahkah dalam waktu dekat, maka jumlah PSAK yang akan berlaku efektif 2012 adalah 15 buah dan ISAK 7 buah.
         Jumlah PSAK yang belum disahkan dan akan berlaku 2012 sampai dengan Juni 2010 dan ISAK adalah 5 buah
         Jumlah PSAK yang masih Non Comparable dengan IFRS adalah 8 buah
         Jumlah PSAK yang telah dicabut dgn PPSAK dan pencabutan berlaku sejak 2010 adalah 9 PSAK dan 1 Interpretasi . Beberapa PSAK juga telah dicabut dgn bersamaan dgn berlakunya PSAK baru sehingga total PSAK yang dicabut adalah 16 PSAK.

PSAK disahkan 23 Desember 2009
1.      PSAK 1 (revisi 2009): Penyajian Laporan Keuangan
2.      PSAK 2 (revisi 2009): Laporan Arus Kas
      3.      PSAK 4 (revisi 2009): Laporan Keuangan Konsolidasian dan Laporan Keuangan Tersendiri
4.      PSAK 5 (revisi 2009): Segmen Operasi
5.      PSAK 12 (revisi 2009): Bagian Partisipasi dalam Ventura Bersama
6.      PSAK 15 (revisi 2009): Investasi Pada Entitas Asosiasi
      7.      PSAK 25 (revisi 2009): Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi, dan Kesalahan
8.      PSAK 48 (revisi 2009): Penurunan Nilai Aset
9.      PSAK 57 (revisi 2009): Provisi, Liabilitas Kontinjensi, dan Aset Kontinjensi
10.  PSAK 58 (revisi 2009): Aset Tidak Lancar yang Dimiliki untuk Dijual dan Operasi yang Dihentikan

Interpretasi disahkan 23 Desember 2009:
1.      ISAK 7 (revisi 2009): Konsolidasi Entitas Bertujuan Khusus
2.     ISAK 9: Perubahan atas Liabilitas Purna Operasi, Liabilitas Restorasi, dan Liabilitas Serupa
3.      ISAK 10: Program Loyalitas Pelanggan
4.      ISAK 11: Distribusi Aset Nonkas Kepada Pemilik
5.      ISAK 12: Pengendalian Bersama Entitas: Kontribusi Nonmoneter oleh Venturer

PSAK disahkan sepanjang 2009 yang berlaku efektif tahun 2010:
1.    PPSAK 1: Pencabutan PSAK 32: Akuntansi Kehutanan, PSAK 35: Akuntansi Pendapatan Jasa Telekomunikasi, dan PSAK 37: Akuntansi Penyelenggaraan Jalan Tol
2.    PPSAK 2: Pencabutan PSAK 41: Akuntansi Waran dan PSAK 43: Akuntansi Anjak Piutang
3.    PSAK 3: Pencabutan PSAK 54: Akuntansi Restrukturisasi Utang Piutang bermasalah
4.    PPSAK 4: Pencabutan PSAK 31 (revisi 2000): Akuntansi Perbankan, PSAK 42: Akuntansi Perusahaan Efek, dan PSAK 49: Akuntansi Reksa Dana
5.    PPSAK 5: Pencabutan ISAK 06: Interpretasi atas Paragraf 12 dan 16 PSAK No. 55 (1999) tentang Instrumen Derivatif Melekat pada Kontrak dalam Mata Uang Asing

PSAK yang disahkan 19 Februari 2010:
1.      PSAK 19 (2010): Aset tidak berwujud
2.      PSAK 14 (2010): Biaya Situs Web
3.      PSAK 23 (2010): Pendapatan
4.      PSAK 7 (2010): Pengungkapan Pihak-Pihak Yang Berelasi
5.      PSAK 22 (2010): Kombinasi Bisnis (disahkan 3 Maret 2010)
6.      PSAK 10 (2010): Transaksi Mata Uang Asing (disahkan 23 Maret 2010
7.      ISAK 13 (2010): Lindung Nilai Investasi Neto dalam Kegiatan Usaha Luar Negeri

Exposure Draft Public Hearing 27 April 2010
1.      ED PSAK 24 (2010): Imbalan Kerja
2.      ED PSAK 18 (2010): Program Manfaat Purnakarya
3.      ED ISAK 16: Perjanjian Konsesi Jasa (IFRIC 12)
4.      ED ISAK 15: Batas Aset Imbalan Pasti, Persyaratan Pendanaan Minimum dan Interaksinya.
5.      ED PSAK 3: Laporan Keuangan Interim
6.      ED ISAK 17: Laporan Keuangan Interim dan Penurunan Nilai

Exposure Draft PSAK Public Hearing 14 Juli 2010
1.      ED PSAK 60: Instrumen Keuangan: Pengungkapan
2.      ED PSAK 50 (R 2010): Instrumen Keuangan: Penyajian
3.      ED PSAK 8 (R 2010): Peristiwa Setelah Tanggal Neraca
4.      ED PSAK 53 (R 2010): Pembayaran Berbasis Saham

Exposure Draft PSAK Public Hearing 30 Agustus 2010
1.     ED PSAK 46 (Revisi 2010) Pajak Pendapatan
      2.     ED PSAK 61: Akuntansi Hibah Pemerintah Dan Pengungkapan Bantuan Pemerintah
3.     ED PSAK 63: Pelaporan Keuangan dalam Ekonomi Hiperinflasi
4.     ED ISAK 18: Bantuan Pemerintah-Tidak Ada Relasi Specifik dengan AktivitasOperasi
      5.     ED ISAK 20: Pajak Penghasilan-Perubahan dalam Status Pajak Entitas atau Para Pemegang Sahamnya

8)         Tahun 2012
Tujuan akhir dari konvergensi IFRS adalah PSAK sama dengan IFRS tanpa adanya modifikasi sedikitpun. Di sisi lain, tanpa perlu mendefinisikan konvergensi IFRS itu sendiri, berdasarkan pengalaman konvergensi beberapa IFRS yang sudah dilakukan di Indonesia tidak dilakukan secara full adoption. Sistem pengurusan perusahaan di Indonesia yang memiliki dewan direksi dan dewan komisaris (dual board system) berpengaruh terhadap penentuan kapan peristiwa setelah tanggal neraca, sebagai contoh lain dari perbedaan antara PSAK dengan IFRS. Indonesia melalui Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK), Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sedang melakukan proses konvergensi IFRS dengan target penyelesaian tahun 2012. IFRS menekankan pada principle base dibandingkan rule base.  Indonesia telah mengadopsi IFRS secara penuh pada 2012, strategi adopsi yang dilakukan untuk konvergensi ada dua macam, yaitu big bang strategy dan gradual strategy. Big bang strategy mengadopsi penuh IFRS sekaligus, tanpa melalui tahapan-tahapan tertentu. Strategi ini digunakan oleh negara-negara maju. Sedangkan pada gradual strategy, adopsi IFRS dilakukan secara bertahap. Strategi ini digunakan oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia. Sasaran konvergensi IFRS tahun 2012, yaitu merevisi PSAK agar secara material  sesuai dengan IFRS versi 1 Januari 2009 yang berlaku efektif tahun 2011/2012, Konvergensi IFRS di Indonesia dilakukan secara bertahap. Adapun manfaat yang diperoleh dari konvergensi IFRS adalah memudahkan pemahaman atas laporan keuangan dengan penggunaan SAK yang dikenal secara internasional, meningkatkan arus investasi global melalui transparasi, menurunkan biaya modal dengan membuka peluang fund raising melalui pasar modal secara global, menciptakan efesiensi penyusunan laporan keuangan.

Branchless Banking (TUGAS 2)



Branchless Banking (TUGAS 2)


Pada kesempatan kali ini saya akan membahas mengenai branchless banking, mungkin sebagian dari kita masih awam dan belum mengetahui apa sebenarnya branchless banking itu sendiri. Baiklah, branchless banking itu adalah merupakan salah satu strategi distribusi perbankan yang memberi layanan keuangan tanpa bergantung pada keberadaan kantor cabang bank atau dengan kata lain branchless banking jaringan distribusi yang digunakan untuk memberi layanan finansial di luar kantor-kantor cabang bank melalui teknologi dan jaringan alternatif dengan biaya efektif, efisien, dan dalam kondisi yang aman dan nyaman.
Nah dengan adanya branchless banking ini, masyarakat dapat memanfaatkan teknologi perangkat mobile, dimulai dari ponsel fitur karena sebagian besar daerah di Indonesia sudah terakses jaringan telepon. Selain itu Teknologi untuk branchless banking itu mudah sekali dan bisa digunakan orang awam. Peluang pasarnya sangat besar, karena layanan perbankan seperti inilah yang dibutuhkan masyarakat yang berada di pelosok. Berbicara mengenai hal ini, kita harus mengetahui terlebih dahulu ,apa saja yang menjadi tujuan dari branchless banking tersebut, dari beberapa sumber yang saya dapatkan, sebagai berikut :
ü  Yang pertama, branchless banking bertujuan untuk mendorong transaksi keuangan yang lebih aman, dan mencegah money laundering.
ü  Lalu yang kedua, perluasan akses dalam layanan keuangan dengan alasan pentingnya implementasi layanan branchless banking masih rendahnya akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan formal. Di Indonesia bila dibanding dengan negara-negara tetanga branchless banking masih memiliki persentase akses layanan jasa keuangan yang rendah.

Selain ini, ada juga kelebihan dari branchless banking, tidak perlu untuk mengambil waktu dari hari tertentu untuk mengunjungi bank untuk menarik uang atau deposito; di samping itu, saldo rekening dapat diperiksa dan diverifikasi setiap saat sepanjang hari. selain itu, orang dapat segera memeriksa dan melihat adakah pemeriksaan tertentu telah dilakukan, atau jika pembayaran tagihan otomatis telah dibuat, dan Sekian banyak orang kini bisa langsung log on ke website bank mereka melalui smartphone; yang artinya tidak lagi diperlukan benda kelas berat seperti desktop atau laptop, Selain itu, branchless banking sering dapat membantu untuk menghemat uang bank. Artinya ini berpotensi menyebabkan bank menawarkan suku bunga yang lebih baik pada pinjaman, atau pengurangan biaya pada nasabah tertentu. Meskipun ini tentu saja tidak selalu terjadi, tidak sedikit bank yang mencatat bahwa nasabah juga ingin adanya kenyamanan tatap muka untuk bisa menyelesaikan bisnis perbankan mereka dari lokasi manapun. Selain ada kelebihan pasti ada sisi  kerugian dari branchless banking yaitu Akan halnya terdapat beberapa kerugian pada penerapan branchless banking. Pertama, keamanan dalam mengakses akun bank nasabah, yang bilamana melalui komputer atau smartphone sudah mungkin tidak aman; selalu ada potensi virus atau spyware yang hadir pada komputer. Kedua, mengunjungi bank fisik menjadi mesti dalam beberapa tindakan perbankan, seperti untuk membuka rekening, atau untuk menempatkan sesuatu dalam brankas. Jika bank tidak memiliki lokasi terdekat karena difokuskan pada branchless banking, ada kemungkinan para nasabah  malah beralih ke bank yang berbeda.
Secara teknis, branchless banking perlu dukungan teknologi mobile dan keberadaan agen. Ilustrasi mengenai branchless banking yakni terdapat kombinasi yang keduanya menjadi kegiatan usaha nonbank agen akan berkeliling mendatangi nasabah untuk memberikan layanan perbankan dengan memanfaatkan telepon seluler (ponsel). Lalu, agen juga harus proaktif memberikan layanan perbankan mulai dari buka rekening, transfer dana, setor maupun tarik tunai. Agen kemudian menyetor uang ke master agen atau langsung ke kantor cabang terdekat. Namun agen menjadi salah satu risiko besar dalam branchless banking karena itu harus membangun kepercayaan kepada nasabah. Demi menghadirkan branchless banking yang optimal, dibutuhkan kerja sama antara perusahaan perbankan dengan perusahaan telekomunikasi. Namun sejauh ini kenyataannya, kedua belah pihak masih cenderung berjalan sendiri-sendiri.
Istilah branchless banking merupakan kegiatan transaksi bank dengan kriteria yang pertama yaitu branchless banking tanpa melalui kantor cabang, kedua Menggunakan agen yang bekerjasama dengan bank, lalu ketiga nasabah bisa melakukan transaksi sendiri atau menggunakan agen, selanjutnya fitur transaksi yang sederhana/basic feature, layanan murah/low cost, dan yang terakhir Ditujukan khususnya untuk segmen bawah atau unbanked. Branchless banking sebagai salah satu bentuk inisiatif financial inclusion  sangat membantu untuk memajukan  perekonomian suatu negara melalui peningkatan akses masyarakat terhadap jasa layanan bank sehingga ultimate goal bank sebagai unit usaha pembiayaan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Berbagai study-study yang dilakukan oleh berbagai lembaga pemerintah, swasta, asosiasi, perusahaan keuangan maupun lembaga donor menyimpulkan beberapa alasan kenapa perlunya branchless banking yaitu
 1) Seperti halnya dinegara negara berkembang Indonesia termasuk didalamnya, akses layanan perbankan masyarakat bawah masih kurang bahkan beberapa negara dapat dikatakan kurang sekali. Indonesia sendiri berdasarkan survey Bank Dunia tahun 2010 berkisar 49% dari populasi belum terlayani. Negara-negara lain seperti Pakistan 85%, Filipina 75%, China 60% dan India 55%. Thailand dan Malaysia justru lebih rendah dari Indonesia.
2) Pembukaan kantor bank yang memerlukan investasi dan biaya operasional yang mahal. Sebagai gambaran rata-rata biaya investasi yang dibutuhkan bisa sekitar 1,5 milyar dengan biaya operasional tahunan sekitar 900 juta per kantor.
3) Konsentrasi lokasi perbankan banyak didaerah perkotaan atau urban yang padat. Hal ini dikarenakan potensi bisnis yang secara kasat mata sudah jelas terlihat menguntungkan bagi bank.
4) Persepsi masyarakat bawah terhadap layanan bank, mereka melihat bank sebagai sesuatu yang tidak untuk mereka (bank is not for me). Sejatinya mereka justru dalam keseharian bersentuhan secara tidak langsung dengan layanan keuangan (financial service) yang juga dilakukan bank. Namun karena persepsi, mereka cenderung melakukannya dengan lembaga yang bukan bank antara lain koperasi dan perorangan Persepsi yang mereka miliki bahwa  Berhubungan dengan bank harus punya uang banyak dan hanya untuk orang kelas atas berduit, harus meluangkan waktu khusus ke bank karena jarak yang jauh dari tempat aktifitasnya sehari hari, prosedur berhubungan dengan bank berbelit belit, banyak aturan dan wajib diikuti, Harus antre untuk  bertransaksi yang hanya untuk kebutuhan sederhana seperti setor atrau tarik dengan jumlah kecil misalnya Rp. 10.000, biaya transaksi yang mahal misalnya kirim uang kena biaya Rp. 25.000, produk atau layanan bank tidak dirancang untuk mereka dengan kondisi keuangan yang tidak tetap.
5) Potensi besar segmen bawah yang belum tergarap. Jujur kita akui bahwa aktifitas ekonomi sebagian besar digerakkan oleh sektor ekonomi kelas bawah seperti usaha-usaha mikro yang masih dilaksanakan melalui mekanisme tunai.
6) kemajuan teknologi khusus dalam berkomunikasi. Adanya tingkat penetrasi yang tinggi perusahaan telco ke masyarakat bawah melalui penggunaan telepon seluler, menyebabkan timbulnya pemikiran bagaimana memanfatkan kemajuan cara berkomunikasi ini untuk menembus layanan keuangan ke segmen dimaksud dengan memanfatkan keunggulan - keunggulan yang dimiliki perusahaan telekomonikasi.
Hal-hal tersebut diatas, mengkondisikan perlunya branchless banking dan saat ini sedang berkembang di negara-negara Asia Pasific, Africa dan Amerika Latin. Asia merupakan emerging market termasuk Indonesia yang baru mulai memasuki era ini, meskipun aturan terkait penerapannya masih dalam persiapan oleh BI. Branchless banking juga mempunyai elemen yang terkait , yaitu:
ü  Banking agent yang berfungsi sebagai unit terdepan, bentuk banking agen juga sangat beragam bisa berbentuk koperasi, toko, dan lain-lain atau lembaga keuangan selain bank, namun yang paling penting dapat menimbulkan efek multiplier bagi perekonomian masyarakat.
ü  Provider telekomunikasi dalam hal ini mobile banking ada di dalam teknologi ini.
ü  Masyarakat diluar nasabah perbankan melalui Financial Identity Number (FIN) yang kedepannya akan disenergikan dengan Identitas Penduduk yang dikeluarkan oleh Kemendagri .
Berikut implementasi dari branchless banking :
1. Bank Sinar Harapan Bali telah diakuisisi oleh Bank Mandiri dimana bank ini adalah pilot project layanan BB bertajuk SinarSip.
2. Perkembangan e-Money, beberapa bank seperti Bank Mandiri dengan produknya “e-Toll dan e-Money”, Bank Central Asia dengan produknya “Flazz”, Bank Rakyat Indonesia, Bank Niaga, dll memberikan kemudahan dengan membeli kartu-kartu tersebut, masyarakat dapat membelanjakan dan diisi ulang dengan menggunakan uang cash di merchant yang sudah ditunjuk, juga di beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar. Sehingga tidak perlu memiliki rekening di bank untuk memiliki kartu tersebut.
3. Bank Muamalat Tahun 2005 memperkenalkan layanan Shar-e dimana kartu ini untuk memenuhi keinginan nasabah yang ingin memiliki akses ke syariah. Sulitnya membuka cabang bank syariah membuat kartu ini sangat diminati. Pengisian kartu Shar-e dapat dilakukan melalui outlet PT. Pos Indonesia maupun ATM BCA dan ATM bersama. Lonjakan costumer mencapai 700% namun lemahnya misi dan terbatasnya perkembangan bank syariah menyebabkan program ini tidak berjalan lama.
Branchless banking merupakan terobosan yang bersifat non-konvensional dimana di beberapa negara seperti Kenya-Afrika dan Meksiko sudah berhasil menerapkannya. Terobosan yang harus dilakukan oleh perbankan melalui pemanfaatan teknologi, khususnya telekomunikasi. Perkembangan industri telekomunikasi yang baru berkembang 20 tahun terakhir di Indonesia ternyata sudah memiliki penetrasi mencapai 250 juta pelanggan, apabila dibandingkan dengan jumlah rekening tabungan yang hanya 70 juta (tahun 2011). tantangan utama yang dihadapi dalam penerapan brachless banking adalah terkait teknologi. Nilai investasi untuk pembangunan infrastruktur IT terbilang cukup mahal. Tantangan lainnya adalah soal pemahaman masyarakat yang masih rendah mengenai branchless banking. Karena itu dibutuhkan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat agar mau ikut dalam penerapan sistem tersebut.
Menurut Yanuar Rizky, bahwa aturan branchless banking yang akan dirilis dalam waktu dekat ini malah akan memuluskan jalan perbankan asing untuk masuk ke Indonesia dengan lebih mudah lagi. Terutama bagi bank asing yang memiliki infrastruktur sistem komputerisasi yang canggih serta modal kuat. Bank asing yang mempunyai lisensi bank di sini atau dalam arti membeli saham bank nasional jadi bank asing bisa mengambil TI-nya dan menyebarkan produknya tanpa cabang. Aturan branchless banking itu akan memudahkan bank asing dengan tidak perlu bangun cabang. Karena memang investasi teknologi besar, dan jika itu dipasang dimana saja sama, karena itu fixed cost, jadi untuk apa membuat cabang. Selain itu, modal kuat bank asing tidak semata-mata dilihat dari sisi uang tunainya saja, Tapi juga modal infrastruktur yang sudah mereka miliki. Jadi misalnya kebijakan branchless banking keluar, mereka sudah mudah melaksanakannya. Salah satu contoh bank asing yang adalah ING Bank asal Belanda yang akan menggas keras usahanya untuk berkembang di Indonesia setelah PBI mengenai branchless banking keluar pada akhir Maret 2013. Bahwa orang-orang yang dulunya pernah kerja di ING Bank itu banyak direkrut oleh sebuah holding bank asing yang sudah membeli saham suatu bank kecil di Indonesia. Kalau dilihat itu sebetulnya kan ada beberapa bank yang dibeli oleh pemilik baru, tetapi semenjak dibeli itu sebetulnya banknya cenderung tidak diapa-apakan atau didiemkan saja dan banyak mengrekrut orang-orang ING Bank, bank ini kan sebetulnya branchless banking. Jadi mereka dalam perkembangan usahanya, melakukan praktik bank tanpa cabang. Bukan hanya ING Bank saja, namun juga bank-bank asing lain kebanyakan sudah menjalankan operasi yang cenderung branchless, seperti bank-bank yang dipunyai Temasek Holding (Singapura). Holding bank asing juga rata-rata sudah punya sister company, misal Temasuk sister company-nya Indosat, kalau Khazanah (Nasional Berhad-Malaysia) yang punya CIMB kan sudah memiliki XL. Kemudian yang sekarang mempunyai Axis, yakni investor dari Timur Tengah, juga sudah punya bank kan. Jadi rata-rata mereka beli dua, yaitu beli bank juga perusahaan telco. Kecuali bank BUMN nanti sister company-nya Telkom.
Apakah aturan branchless banking tersebut akan berjalan efektif atau tidak, menurut Yanuar, harus dilihat PBI-nya nanti seperti apa. Kalau isinya berhubungan dengan rezim perizinan, misal kepada SOP, tentu saja asing yang paling siap. Aturannya akan seperti multi licensing juga, mungkin license pertama (mengenai) infrastruktur, lisensi kedua tentang status bank. Karena pasti keluar standar protokol aturan keamanan, standar hubungan dengan agen. Kalau dilihat yang sudah mrmpunyai yakni asing, sedangkan lokal yang sudah mempunyai Bank BUMN dan Telkom saja. Selain itu, harus dipikirkan juga pembagian fee yang tepat antara bank dan telco. Kemudian juga mengenai hubungan antara agen dan nasabah, karena yang bertanggung jawab utamanya adalah bank. Bisa dibilang backbone untuk branchless banking akhirnya tetap di industri perbankan, misalnya sistem kliring tetap diatur perbankan. Yang harus dipikirkan juga soal isu persaingan usaha, contohnya BI memberikan izin ke bank, mereka tinggal cari POS, dan bisa langsung jalan, jadi kasihan bank yang tidak siap, serta costumer protection. Lalu begitu juga cost tinggi dalam pelaksanaan pasti muncul bisnis baru, misalnya akan ada agen kliring kecil yang dipunyai masing-masing bank untuk mengawasi POS-POSnya yang sudah banyak. Jadi yang harus diwaspadai nanti akan ada bank sentral di bawah bank sentral. Disisi lain kalau tidak diatur dengan baik nanti bank-bank yang kuat bisa membuat mini kliring agent, dan bank-bank yang lemah yang tidak punya agen kliring bisa ikut ke mereka. Makanya dari itu kita harus melihat aturan BI terlebih dahulu, kalau aturannya sebebas-bebasnya, seliberal-liberalnya, apapun juga bisa terjadi. Sementara di negara lain soal itu sudah diatur dari segi perizinannya.