Perkembangan Akuntansi di Indonesia
1.1. Pengertian Akuntansi
Henry, Akuntansi (accounting) adalah proses pengidentifikasian, pencatatan, dan
pengkomunikasian kejadian-kejadian ekonomi suatu organisasi (perusahaan ataupun
bukan perusahaan) kepada para pemakai informasi berkepentingan.
Supriyono
menjelaskan bahwa pengertian akuntansi keuangan adalah proses pencatatan dan
penggolongan, peringkasan, dan penyajian, dari transaksi keuangan suatu badan
usaha dengan cara yang sistematis, serta penafsiran terhadap hasilnya dari
laporan-laporan yang disajikan oleh akuntansi. Tujuan akuntansi keuanganadalah
sebagai alat pembantu untuk menjalankan fungsi, alat komunikasi dan
pertanggungjawaban dari manajemen kepada berbagai pihak yang menggunakan
laporan keuangan, sesuai kepentingan masing-masing pemakai.
1.2. Perkembangan Akuntansi
Standard dan praktik akuntansi di setiap Negara merupakan hasil dari interaksi yang
kompleks diantara factor ekonomi, sejarah, kelembagaan, dan budaya. Dapat
diduga akan terjadinya perbedaan antarnegara. faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan akuntansi nasional juga membantu menjelaskan perbedaan akuntansi
antar-bangsa.
delapan faktor
berikut ini memiliki pengaruh yang signifikan dalam perkembangan akuntansi.
Tujuh faktor pertama berupa ekonomi, sejarah, sosial, dan/atau kelembagaan dan
merupakan faktor yang sering disebutkan
oleh para penulis akuntansi. Akhir-akhir ini, hubungan antara budaya
(faktor kedelapan berikut ini) dan perkembangan akuntansi mulai digali lebih
lanjut.
1.
Sumber pendanaan
Di Negara-negara dengan pasar ekuitas yang
kuat, akuntansi memiliki focus atas seberapa baik manajemen menjalankan
perusahaan (profitabilitas), dan dirancang untuk membantu investor menganalisis
arus kas masa depan dan resiko terkait.
2.
Sistem Hukum
Sistem hokum menentukan bagaimana individu
dan lembaga berinteraksi
3.
Perpajakan
Di kebanyakan Negara, peraturan pajak
secara efektif menentukan standar akuntansi karena perusahaan harus mencatat
pendapatan dan beban dalam akun mereka untuk mengklaimnya dalam keperluan
pajak. Dengan kata lain,
pajak keuangan dan pajak akuntansi adalah sama.
4.
Ikatan Politik dan Ekonomi
Ide dan teknologi akuntansi dialihkan
melalui penaklukan, perdagangan, dan kekuatan sejenis.
5.
Inflasi
Inflasi
mengaburkan biaya historis melalui penurunan berlebihan terhadap nilai-nilai
aset dan beban-beban terkait, sementara disisi lain melakukan peningkatan
berlebihan terhadap pendapatan. Negara-negara dengan inflasi tinggi sering kali
menuntut perusahaan-perusahaan melakukan berbagai perubahan harga kedalam
perhitungan keuangan mereka.
6.
Tingkat Perkembangan Ekonomi
Faktor ini
mempengaruhi jenis transaksi usaha yang dilaksanakan dalam suatu perekonomian
dan menentukan manakah yang paling utama. Jenis transaksi menentukan maslaah
akuntansi yang dihadapi. Saat ini, banyak perekonomian industry berubah menjadi
perekonomian jasa.
7.
Tingkat Pendidikan
Standar dan praktik akuntansi yang sangat
rumit (sophisticated) akan menjadi
tidak berguna jika disalahartikan dan disalahgunakan.
8.
Budaya
Di sini budaya berarti nilai-nilai dan
perilaku yang dibagi oleh suatu masyarakat. Variabel budaya mendasari
pengaturan kelembagaan di suatu Negara (seperti sistem hukum). Hofstede
mendasari empat dimensi budaya nasional (nilai sosial) :
(1) individualisme,
(2) jarak kekuasaan,
(3) penghindaran ketidakpastian, dan
(4) maskulinitas.
Secara singkat, Individualisme
(versus kolektivisme) merupakan
kecenderungan terhadap suatu tatanan sosial yang tersusun longgar dibandingkan
terhadap tatanan yang tersusun ketat dan
saling tergantung (saya versus kita). Jarak
kekuasaan adalah sejauh mana hierarki dan pembagian kekuasaan dalam suatu
lembaga dan organisasi secara tidak adil dapat diterima. Penghindaran ketidakpastian adalah sejauh mana masyarakat tidak
merasa nyaman dengan ambiguitas dan suatu masa depan yang tidak pasti. Maskulinitas (versus feminitas) adalah sejauh mana peran
gender dibedakan serta kinerja dan pencapaian yang dapat dilihat (nilai-nilai
maskulin yang tradisional) ditekankan daripada hubungan dan perhatian
(nilai-nilai feminim yang tradisional).
1.3. Perkembangan Akuntansi Di Indonesia
Praktik akuntansi di Indonesia
dapat ditelusuri pada era penjajahan Belanda sekitar 17 (ADB 2003) atau sekitar
tahun 1642 (Soemarso 1995). Jejak yang jelas berkaitan dengan praktik akuntansi
di Indonesia dapat ditemui pada tahun 1747, yaitu praktik pembukuan yang
dilaksanakan di Amphioen Sociteyt yang bekedudukan di Jakarta (Soemarso 1995).
Pada era ini Belanda mengenalkan sistem pembukuan berpasangan (double-entry bookkeeping) sebagaimana
yang dikembangkan oleh Luca Pacioli. Perusahaan VOC milik Belanda yang
merupakan organisasi komersial utama selama masa penjajahan memainkan peranan penting
dlam praktik bisnis di Indonesia selama era ini (Diga dan Yunus 1997).
Kegiatan ekonomi
pada masa penjajahan meningkat cepat selama tahun 1800an dan awal tahun 1900an.
Hal ini ditandai dengan dihapuskannya tanam paksa sehingga pengusaha Belanda
banyak yang menanamkan modalnya di Indonesia. Peningkatan kegiatan ekonomi
mendorong munculnya permintaan akan tenaga akuntan dan juru buku yang terlatih.
Akibatnya, fungsi auditing mulai dikenalkan di Indonesia pada tahun 1907
(Soemarso 1995). Peluang terhadap kebutuhan audit
ini akhirnya diambil oleh akuntan Belanda dan Inggris yang masuk ke Indonesia
untuk membantu kegiatan administrasi di perusahaan tekstil dan perusahaan
maYunus 1990). Internal auditor yang pertama kali datang di Indonesia adalah
J.W Labrijn yang sudah berada di Indonesia pada tahun 1896 dan orang yang
pertama melaksanakan pekerjaan audit (menyusun dan mengontrol pembukuan
perusahaan) adalah Van Schage yang dikirim ke Indonesia pada tahun 1907
(Soemarso 1995).
Pengiriman Van
Schagen merupakan titik tolak berdirinya
Jawatan Akuntan Negara-Government Account
Dienst yang terbentuk pada tahun 1915 (Soemarso 1995). Akuntan Publik yang
pertama adalah Frese & Hogeweg yang mendirikan kantor di Indonesia pada
tahun 1918. Pendirian kantor ini diikuti kantor akuntan yang lain yaitu kantor
akuntan H.Y. Voerens pada tahun 1920 dan pendirian Jawatan Akuntan Pajak-Belasting Accountant Dienst (Soemarso
1995). Pada era penjajahan, tidak ada orang Indonesia yang bekerja sebagai
akuntan publik. Orang Indonesia pertama yang bekerja di bidang akuntansi adalah
JD Massie, yang diangkat sebagai pemegang buku paada Jawatan Akuntan Pajak pada
tanggal 21 September 1929 (Soemarso 1995).
Kesempatan bagi
akuntan lokal (Indonesia) mulai muncul pada tahun 1942-1945, dengan mundurnya
Belanda dari Indonesia. Sampai tahun 1947 hanta ada satu orang akuntan yang
berbangsa Indonesia yaitu Prof. Dr. Abutari (Soemarso 1995). Praktik akuntansi
model Belanda masih digunakan selama era setelah kemerdekaan (1950an).
Pendidikan dan pelatihan akuntansi masih didominasi oleh sistem akuntansi model
Belanda. Nasionalisasi atas perusahaan yang dimiki Belanda dan pindahnya orang
orang Belanda dari Indonesia pada tahun 1958 menyebabkan kelangkaan akuntan dan
tenaga ahli (Diga dan Yunus 1997).
Atas dasar
nasionalisasi dan kelangkaan akuntan, Indonesia pada akhirnya berpaling pada
praktik akuntansu model Amerika. Namun demikian, pada era ini praktik akuntansi
model Amerika mampu berbaur dengan akuntansi model Belanda, terutama yang
terjadi di lembaga pemerintah. Makin meningkatnya jumlah institusi pendidikan
tinggi yang menawarkan pendidikan akuntansi seperti pembukaan jurusan akuntansi
di Universitas Indonesia 1952, Institusi Ilmu Keuangan (Sekolah Tinggi Akuntan
Negara-STAN) 1990, Universitas Padjajaran 1961, Universitas Sumatera Utara
1962, Universitas Airlangga 1962 dan Universitas Gadjah Mada 1964 (Soemarso
1995) telah mendorong pergantian praktik akuntansi model Belanda dengan model
Amerika pada tahun 1960 (ADB 2003). Selanjutnya, pada tahun 1970 semua lembaga
harus mengadopsi sistem akuntansi model Amerika (Diga dan Yunus 1997).
Pada pertengahan
tahun 1980an, sekelompok tehknorat muncul dan memiliki kepedulian terhadap
reformasi ekonomi dan akuntansi. Kelompok tersebut berusaha untuk menciptakan
ekonomi yang lebih kompetitif dan lebih berorientasi pada pasar dengan dukungan
praktik akuntansi yang baik. Kebijakan kelompok tersebut memperoleh dukungan
kuat dari investor asing dan lembaga lembaga internasional (Rosser 1999).
Sebelum perbaikan pasar modal dan pengenalan reformasi akuntansi tahun 1980an
dan awal 1990an, dalam praktik banya ditemui perusahaan yang memiliki tiga
jenis pembukuan, satu untuk menunjukkan gambaran sebenarnya dari perusahaan dan
untuk dasar pengambilan keputusan, satu untuk menunjukkan hasil yang positif
dengan maksud agar dapat digunakan untuk mengajukan pinjaman/kredit dari bank
domestik dan asing, dan satu lagi yang menunjukkan hasil negatif (rugi) untuk
tujuan pajak (Kwik 1994).
Pada awal tahun
1990an, tekanan untuk memperbaiki kualitas pelaporan keuangan muncul seiring
dengan terjadinya berbagai skandal pelaporan keuangan yang dapat mempengaruhi
kepercayaan dan perilaku investor. Skandal pertama adalah kasus Bank Duta (bank
swasta yang dimiliki oleh tiga yayasan yang dikendalikan presiden Suharto).
Bank Duta go public pda tahun 1990
tetapi gagal mengungkapkan kerugian yang jumlah besar (ADB 2003). Bank Duta
juga tidak menginformasi semua informasi kepada Bapepam, auditornya atau underwritternya tentang masalah
tersebut. Celakanya, auditor Bank Duta mengeluarkan opini wajar tanpa
pengecualian. Kasus ini diikuti oleh kasus Plaza Indonesia Realty (pertengahan
1992) dan Barito Pacific Timber (1993). Rosser (1999) mengatakan bahwa bagi
pemerintah Indonesia, kualitas pelaporan keuangan harus diperbiki jika memang
pemerintah menginginkan adanya transformasi pasar modal dari model “casino” menjadi model yang dapat
memobilisasi aliran investasi jangka panjang.
Berbagai skandal
tersebut telah mendorong pemerintah dan badan berwenang untuk mengeluarkan
kebijakan regulasi yang ketat berkaitan dengan pelaporan keuangan. Pertama,
pada September 1994, pemerintah melalui IAI mengadopsi seperangkat standar
akuntansi keuangan, yang dikenal dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
(PSAK). Kedua, pemerintah bekerjasama dengan Bank Dunia (World Bank)
melaksanakan Proyek Pengembangan Akuntansi yang ditunjukkan untuk mengembangkan
regulasi dan melatih profesi akuntansi. Ketiga, pada tahun 1995, pemerintah
membuat berbagai aturan berkaitan dengan akuntansi dalam Undang-Undang
Perseroan Terbatas. Keempat, pada tahun 1995 pemerintah memasukkan aspek
akuntansi/pelaporan keuangan kedalam Undang-Undang Pasar Modal (Rosser 1999).
Jatuh nilai rupiah
pada tahun 1997 – 1998 makin meningkatkan tekanan pada pemerintah untuk
memperbaiki kualitas pelaporan keuangan. Sampai awal 1998, kebangkrutan
konglomerat, collapsenya sistem
perbankan, meningkatnya inflasi dan pengangguran memaksa pemerintah bekerja
sama dengan IMF dan melakukan negosiasi atas berbagai paket penyelamat yang
ditawarkan IMF. Pada waktu ini, kesalahan secara tidak langsung diarahkan pada
buruknya praktik akuntansi dan rendahnya kualitas keterbukaan informasi (transparency). Ringkasan perkembangan
praktik akuntansi di Indonesia dapat dilihat pada tabel 1.1.
Tabel 1.1
Faktor Lingkungan dan Praktik Akuntansi
PERKEMBANGAN POLITIK DAN SOSIAL
|
PERKEMBANGAN EKONOMI
|
PERKEMBANGAN AKUNTANSI
|
ERA KOLONIAL BELANDA
(1595-1945):
·
Belanda menguasai Jawa dan kepulauan lainnya
·
Islam menjadi agama mayoritas
|
Perusahaan Hindia Belanda
(VOC) menguasai perdagangan di Indonesia. Keterlibatan dan fasilitas pribumi
di perdagangan dibatasi dengan ketat. Etnis China diberi hak khusus di bidang
perdagangan dan transportasi air.
|
Belanda mengenalkan
akuntansi di Indonesia Regulasi akuntansi yang pertama dikeluarkan tahun 1642
oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Regulasi tersebut mengatur administrasi
Kas dan Piutang (Abdoelkadir 1982)
|
ERA SOEKARNO (1945-1966):
Indonesia memperoleh
kemerdekaan. Kepemimpinan presiden Soekarno dekat dengan Pemerintah China
(RRC). Tahun 1965 terjdi usaha kudeta oleh komunis yang berhasil digagalkan
dan mendorong peran militer
|
Dominasi perdagangan oleh
Belanda dan Cina mendorong munculnya ketidakadilan di masyarakat. Akhirnya,
Indonesia memilih pendekatan sosialis dalam pembangunan yang ditandai dengan
dominasi peran negara. Tahun 1958, semua perusahaan milik Belanda
dinasionalisasi dan warga negara Belanda keluar dari Indonesia
|
Akademisi lulusan Amerika
mengisi kekosongan posisi akuntan dan sistem akuntansi dan auditing Amerika
dikenalkan di Indonesia. Baik akuntansi model Belanda maupun Amerika
digunakan secara bersama.
Ikatan Akuntan Indonesia
didirikan tahun 1957 untuk memberi pedoman dan untuk mengkoordinasi aktivitas
akuntan
|
ERA SUHARTO (1966-1998):
Suharto menjadi presiden
tahun 1966 engan pendekatan kebijakan ekonomi dan politik yang konservatif.
|
Di bawah kepemimpinan
Suharto, pembangunan ekonomi didasarkan pada pendekatan kapitalis. Investasi
asing didorong dan tahun 1967 dikeluarkan Undang Undang Penanaman Modal Asing
yang menghasilkan munculnya perusahaan asing.
Tahun 1997-1998 krisis
Keuangan Asia menimpa Indonesia dan banyak perusahaan yang bankrut.
|
Terjadi transfer
pengetahuan dan keahlian akuntansi secara langsung dari Kantor Pusat
perusahaan asing kepada karyawan Indonesia dan secra tidak langsung
mempengaruhi aaktivitas bisnis.
Tahun 1973, IAI mengadopsi
seperangkat prinsip akuntansi dan standar auditing serta frofessinal code of
conduct. Prinsip-prinsip akuntansi didasarkan pada pedoman akuntansi yang
dipublikasikan AICPA tahun 1965.
Standar akuntansi
internasional diadopsi tahun 1995
|
ERA SETELAH SUHARTO
(SETELAH 1998) :
Suharto dipaksa
mengundurkan diri pada tahun 1998.
|
Indonesia berjuang dari kesulitan
ekonomi dan stabilitas sosial.
|
Regulasi diperketat untuk
memperbaiki pengungkapan informasi.
|
1.4. Periodisasi perkembangan
akuntansi di Indonesia
Periodisasi
perkembangan akuntansi di Indonesia dapat dibagi atas : Zaman kolonial dan
zaman kemerdekaan.
1.
Zaman Kolonial
Zaman VOC
Sebelum bangsa Eropa: Portugis, Spanyol,
dan Belanda masuk ke Indonesia transaksi dagang dilakukan secara barter. Cara
ini tidak melakukan pencatatan. Pada waktu orang –orang Belanda datang ke
Indonesia kurang lebih akhir abad ke-16, mereka datang dengan tujuan untuk
berdagang kemudian mereka membentuk perserikatan Maskapai Belanda yang dikenal
dengan nama Vereenigde Oost Indische
Compagnie (VOC) , yang didirikan pada tahun 1602, sebagai peleburan dari 14
maskapai yang beroprasi di Hindia Timur. Selanjutnya VOC membuka cabangnya di
Batavia tahun 1619 dan di tempat-tempat lain di Indonesia. Kemudian dibentuk
jabatan Gubernur Jenderal untuk menangani urusan-urusan VOC. Akhir abad ke-18
VOC mengalami kemunduran dan akhirnya dibubarkan pada 31 Desember 1799.
Dalam kurun waktu
itu, VOC memperoleh hak monopoli perdagangan rempah-rempah yang dilakukan
secara paksa di Indonesia, dimana jumlah transaksi dagangnya, baik frekuensi
maupun nilainya terus bertambah dari waktu ke waktu. Pada tahun itu bisa
dipastikan Maskapai Belanda telah melakukan pencatatan atas mutasi transaksi
keuangan. Dalam hubungan itu, Ans
Saribanon Sapiie (1980), mengemukakan bahwa menurut Stible dan Stroomberg,
bukti autentik mengenai catatan pembukuan di Indonesia paling tidak sudah ada
menjelang pertengahan abad ke-17. Hal itu ditunjukkan dengana adanya sebuah
Instruksi Gubernur Jenderal VOC pada tahun 1642 yang mengharuskan dilakukan
pengurusan pembukuan atas penerimaan uang, pinjaman-pinjaman, dn jumlah uang
yang diperlukan untuk penegeluaran (eksplorasi) garnisun-garnisun dan galangan
kapal yang ada di Batavia dan Surabaya.
2.
Zaman Penjajahan Belanda
Setelah VOC bubar
pada tahun 1799, kekuasaannya diambil alih oleh Kerajaan Belanda, zaman penjajahan
Belanda dimulai tahun 1800-1942. Pada waktu itu, catatan pembukuan menekankan
pada mekanisme debet dan kredit, yang diantara lain dijumpai pada pembukuan
Amphioen Socyteit di Batavia. Amphioen socyteit bergerak dalam usaha morfin (amphioen) yang merupakan usaha monopoli di Belanda.
Pada abad ke-19
banyak perusahaan Belanda didirikan atau masuk ke Indonesia dengan membuka
cabang atau perwakilan, yang antara lain sebagai berikut :
a.
Deli Maatschaappij
(perkebunan)
b.
Biliton Maatschaappij (timah)
c.
Bataafche Petroleum
Maatschaappij (minyak)
d.
Koninklijke Paketvaart
Maatschaappij (pelayaran nusantara), setelah dinasionalisasikan oleh pemerintah
RI menjadi perusahaan pelayaran nasional (PELNI)
e.
Rotterdamsch Lloyd (maskapai
atau agen pelayaran internasional), setelah dinasionalisasikan menjadi Djakarta
Lloyd
f.
Koninklijke Nederlands
Indische Luhtvaart Maatschaappij (penerbangan nusantara), setelah
dinasionalisasikan menjadi Garuda Indonesia Airways
g.
Stoomvart Maatschaappij
Nederlands
h.
Firma Ruys of de Oost
i.
Nederlands Handel’s Bank
j.
Algeme Handel’s Bank
Untuk mengangkut
hasil produksi perkebunan dan tambang, dibuka jalan kereta api dari daerah asal
menuju ke pelabuhan. Kereta api yang pertama diadakan pada tahun 1870 yang
menghubungkan antara daerah pedalaman Jawa Tengah dengan Semarang, menyusul
dari pedalaman Jawa Barat ke pelabuhan Tanjung Priok, dari pedalaman Jawa Timur
ke pelabuhan Tanjung perak dan dri pedalaman Sumatra Selatan ke Palembang. Di
samping jalan kereta api juga dibangun dan/atau ditingkatkan ke jalan darat
untuk melancarkan arus produksi perkebunandan pertambangan ke kota-kota
pelabuhan.
Catatan
pembukuannya merupakan modifikasi sistem Venesia-Italia, dan tidak dijumpai
adanya kerangka pemikiran konseptual untuk mengembangkan sistem pencatatan
tersebut karena kondisinya sangat menekankan pada praktik-praktik dagang yang
semata-,mata untuk kepentingan perusahaan Belanda. Sedangkan, segmen bisnis
menengah kebawah dikuasai oleh pedagang keturunan, yaitu : Cina, India, dan
Arab. Sejalan dengan itu, ada kebebasan dalam penyelenggaraan pembukuan
sehingga praktik pembukuannya menggunakan atau dipengaruhi oleh sistem asal
etnis yang bersangkutan.
Hadibroto (1992) mengihtisarkan sistem
pembukuan asal etnis sebagai berikut:
a.
Sistem pembukuan Cina,
terdiri dari 5 kelompok, yaitu :
Ø Sistem Hokkian (amoy)
Ø Sitem Kanton
Ø Sistem Hokka
Ø Sistem Tio Tjoe atau sistem Swatow
Ø Sistem Gaya Baru (New system).
b.
Sistem pembukuan India atau
Sistem Bombay
c.
Sistem pembukuan arab atau
Hadramaut.
1.5. Sekilas Perkembangan Akuntansi Di Indonesia
Pada waktu
Indonesia merdeka, ada satu orang akuntan pribumi, yaitu Prof. Dr. Abutari,
sedangkan Prof. Soemardjo baru menyelesaikan pendidikan akuntannya di negeri
Belanda pada tahun 1956. Akuntan Indonesia pertama yang merupakan lulusan dalam
negeri adalah Basuki Siddharta, Hendra Darmawan, Tan Tong Djoe, dan Go Tien
Siem. Mereka lulus pada pertengahan tahun 1957, keempat akuntan ini bersama
dengan Prof. Soemardjo memprakarsai berdirinya perkumpulan Akuntan Indonesia.
Dengan menyadari
ke Indonesiaannya, mereka berkeyakinan bahwa tidak mungkin menjadi anggota NIVA
(Nederlands Insttitute Van Accountants). Mereka juga berpendapat bahwa kedua
lembaga itu dipastikan tidak mungkin akan memikirkan perkembangan dan pembinaan
akuntan di Indonesia.
Pada hari kamis
tanggal 17 Oktober 1957, kelima akuntan tadi mengadakan pertemuan di aula
Universitas Indonesia (UI) dan bersepakat untuk mendirikan perkumpulan akuntan
Indonesia. Karena pertemuan tersebut tidak dihadiri semua akuntan yang ada,
maka diputuskanlah untuk membentuk Panitia Persiapan Pendirian Perkumpulan
Akuntan Indonesia. Panitia ini bertugas menghubungi akuntan lainnya untuk
menyatakan pendapat mereka mengenai usulan pendirian perkumpulan akuntan
Indonesia. Dalam panitia itu, Prof. Soemardjo ditunjuk sebagai ketua, Go Tien
Siem sebagai penulis, Basuki Siddharta nsebagai bendahara, sedangkan Hendra
Darmawan dan Tan Tong Djoe sebgai komisaris. Surat yang dikirimkan pada panitia
ke 6 akuntan lainnya memperoleh jawaban setuju. Perkumpulan yang diberi nama
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) akhirnya terbentuk pada tanggal 23 Desember
1957, yaitu pada pertemuan ketiga yang diadakan di aula UI pada pukul 19.30.
Sumber :Bisiranawati
dan Hapsari .(2014). Sejarah Perkembangan Akuntansi Indonesia dan Akuntansi Internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar